Kamis, 09 Maret 2017
Selasa, 13 Januari 2054
Terik menyengat ini kian
membakar kulit-kulit para revolusioner berjaket merah itu. Matahari yang sejak
tadi menyambar sudah terasa hambar. Tanpa hambatan, satu persatu bermunculan
lagi sesuai strategi yang dikomandokan. Aku yang sedari tadi menahan tameng
terdepan sudah mulai terbiasa akan keadaan menyesakkan ini. Sungguh gerah dan
menyakitkan sekali. Satu mendorong. para revolusioner jaket merah lainnya ikut
mendorong serentak, walau kaum hawa sekalipun tak kalah garang. Ratusan ribu
orang ini sudah mulai muak dengan skenario busuk tirani biadab. Genderang
perlawanan bukan lagi menjadi alasan. Hanya satu kata yaitu “Jihad” yang
menjadi saksi bisu sejarah dalam fitnah akhir zaman yang kian mulai menampakkan
batang hidungnya. Bahkan di seluruh duniapun, para pembela yang haq akan
melakukan hal serupa demi membela keyakinan tauhid agama rahmatan lil’alamin. Sang surya mulai tergelincir ke barat, tanda
adzan ashar akan dikumandangkan. Wajah-wajah kumal nan heroik para revolusioner
segera mundur dari pertahanan rezim. Segera memalingkan kegiatannya kepada
ibadah yang suci. Aku yang sedari tadi dalam posisi terdepan segera ikut mundur
dan menuju lokasi masjid beberapa ratus meter ke arah timur. Langsung bersegera
berwudhu dan menunaikan ibadah suci Sholat.
Ba’da Sholat ashar.
Teman-teman tidak melanjutkan aksinya lagi. Melainkan mengatur strategi kembali
ke komisariat masing-masing dan akan kumpul kembali ba’da isya nanti di kantor
markas besar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Lalu mengumpulkan massa
besar-besaran esok lusa. Entah kejuatan apalagi yang akan kudapatkan besok.
Rabu, 14 Januari 2054
Namaku Ari, Ari
Hidayatullah. Seorang mahasiswa tingkat akhir yang sedang menempuh kuliah di
Universitas Muhammadiyah Jakarta. Aku memang tak pandai dalam hal akademik.
Tetapi aku peka terhadap penyimpangan rezim ini kepada agamaku. Mulai dari
memberlakukan wanita untuk tidak berhijab di tempat umum, sampai melarang
masjid-masjid untuk mengumandangkan adzan lewat pengeras suara. Itu yang
membuat Ikatanku, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah untuk terjun langsung menuju
istana dan menurunkan tirani ini. Ketika kita melihat kilas balik saat tahun
1998 silam, saat penurunan presiden Soeharto. Maka hari ini ini akan jauh
berbeda. Saat ini teknologi sudah sangat maju sekali di bumi Nusantara. Setiap
warga negara sudah mengakses berbagai platform
teknologi yang otomatis. Internet sudah membabi buta hingga ke pelosok negeri.
Kesempatan ini pula dimanfaatkan untuk membolak-balikkan fakta oleh penguasa.
Sang pemegang tahta serta kemajuan duniawi. Aku yang menjadi mahasiswa serba
pas-pasan hanya bisa melawan melalui dunia nyata. Bahkan untuk sebuah smartphone saja aku tak tau bagaimana
menghidupkannya. Keluargaku memanglah serba kecukupan dan tak jarang
kekurangan. Untuk membiayai kuliahku saja aku harus kerja serabutan untuk
menutupi setiap semesternya. Kini semua pengorbananku selama 3 tahun berkuliah
di negeri orang harus aku bayar demi mempertahankan rakyat awam dan agamaku sendiri.
Sebangun subuh, yang biasanya aku melihat sudut ruang
persegi empat. Kali ini aku hanya melihat lorong-lorong langit yang lengang,
serta hembusan angin dingin yang menusuk kulit-kulit. Markas ini tak cukup
besar untuk menampung sekian banyak para revolusioner ini, hingga membuat yang
tak dapat tempat di dalam harus tidur di pelataran parkiran dan ada juga yang
tidur di Masjid. Sholat shubuh membludak layaknya Sholat Jumat dan mungkin itu
juga suatu pertanda besar yang telah dijanjikan Rasulullah. Ba’da sholat
berkumpul lagi, kali ini kita kedatangan tamu. Alhamdulillah, surat-surat yang dikirim kemarin sudah langsung
direspon positif untuk para seluruh
mahasiswa di Indonesia. Ya, kita memang menggunakan media surat. Karena jika
kita mengundangnya via email atau media sosial lainnnya akan mudah terlacak
oleh rezim ini. Sesampainya di markas besar yang sederhana ini, beberapa
perwakilan dari mahasiswa ini berunding untuk mencanangkan strategi
penggulingan terakhir tirani ini. Akhirnya setelah beberapa jam berlalu,
beberapa aksi akan kita laksanakan besok. Pagi buta.
Pandanganku tidak hanya tertuju pada ribuan mahasiswa
ini. Tetapi pada sesosok wanita yang sepertinya pernah aku kenal sebelumnya.
Dengan memakai jas merah khas IMM dia terus melangkah mendekatiku. Entah dia
memang mendekati atau dia mendekati orang dibelakangku. Lalu setelah sampai
lima langkah didepanku dia memanggil nama kecilku, “Ayi”
“Kau kemana saja selama ini?” tungkasnya
“Kau?” aku bertanya heran
“ Iya, aku Alya. Teman kecilmu dulu. Kau tak ingat?”
“ Alya. Benar kau alya? Kenapa kau disini ?”
“ Kau malah
bertanya balik. Iya, aku disini ikut IMM untuk membela agama kita. Aku sudah
muak dengan semua ini yi” Jelasnya
“Bukannya kau.
Mengabdi menjadi dokter di pulau sumbawa?”
“Aku memang
disana. Tapi aku mendengar kalau ada seruan untuk para mahasiswa agar bergabung
dalam aliansi ini. Dan aku melihat namamu tertulis disana”
Dari perbincangan kecil
ini, Aku dan alya banyak mengenang masa kecil dahulu. Ditengah keramaian
mahasiswa yang berkumpul disini. Sebagian masih membahas strategi dan sebagian
sudah banyak yang memantau keluar untuk menjelajahi Ibu Kota tercinta ini.
Sedangkan aku dan aliya sedang terjebak dalam ruang nostalgia yang merindu.
Selepas sholat Dzuhur, alya mengajakku untuk mengunjungi
monas. Namun aku melarangnya, karena monas yang sekarang jauh berbeda dengan
monas yang dulu. Monas hari ini sudah banyak sekali tentara-tentara tirani yang
akan menangkap para mahasiswa jika dilihatnya disekitar monas. Entah alasan apa
yang menjadi penangkapan itu. Beberapa teman seperjuanganku ada yang pernah
tertangkap dan langsung hilang tak pernah kembali lagi hingga kini. Daerah
monas yang dulunya bebas berkeliaran dan melihat-melihat sekitar. Saat ini
harus didampingi oleh seorang tentara yang akan mengikuti kemana kau akan
pergi.
“Tetapi, kita kesana kan hanya melihat-lihat saja Ari”
“ Kita memang
melihat, tetapi tetap saja identitas kita akan digeledah dulu. Jika dilihatnya
kita dari kalangan mahasiswa. Tamatlah riwayat kita disana alya” Aku
memperjelas kembali
“ Aku punya ide ayi, bagaimana kalau kita tidak membawa
identitas mahasiswa saja?”
“ itu bukan
ide yang bagus alya. Tetapi jika kau tetap mengotot untuk pergi kasana, baiklah
kita coba ide tersebut” Jawabku setengah yakin,
Aku memang setengah yakin
dengan ide alya, tetapi tak apalah. Aku juga sudah lama sekali tidak kesana.
Bahkan kali terakhir aku kesana ketika lulus SMA. Aku dan alya pun memutuskan
untuk kesana menggunakan transportasi umum. Sekarang jakarta memang sudah jarang
ditemukan motor atau kendaraan pribadi lainnya. Mungkin ini kelebihan gubernur
jakarta sekarang yang mampu membuat jakarta tak pernah macet lagi, karena
warganya sudah mulai terbiasa menggunakan transportasi umum. Tetapi yang
namanya rezim biadab akanlah tetap biadab.
Saat kulihat ujung obor api emas Monumen Nasional itu,
firasatku mulai tak enak. Aku langsung ingat kejadian saat temanku tertangkap
di tempat ini. Ahh, sudahlah. Lagipula kejadian itu sudah lama sekali. Semoga
saja tentara itu tidak mengingat wajahku ketika aku membawa kabur temanku dan
pada akhirnya tertangkap juga. Namun waktu itu, persembunyian tak diketahui
para tentara itu. Aku turun dan langsung saja menuju Monas. Alya yang dari tadi
cerita langsung membuyarkan lamunanku.
“ Hei, ari hei! Kau melamun? Aku daritadi cerita lo”
“eh iya al, hehe maaf ya”
Saat masuk, kita berdua
langsung berhadapan dengan 2 orang tentara bersenjata lengkap dan juga memakai
seragam hijau dengan simbol rezim ini pada lengan kanannya. Aku dan alya di periksa.
Untuk sesi ini, kita aman. Entah apa yang akan terjadi beberapa menit yang akan
datang. Aku dan alyapun masuk menelusuri serta ber swafoto ala-ala remaja pada
masa lalu, yang saat ini sudah tak pernah lagi aku melihat orang yang melakukan
swafoto seperti ini. Tibalah di dimuseum bawah tanah, Ada beberapa relik dan
lukisan-lukisan saat monas ini dibangun. Dan ada juga diorama-diorama
perjuangan pahlawan. Tetapi ketika melintasi foto soekarno dan D.N. Aidit. Alya
yang dari tadi hanya menahan dirinya untuk berbicara akhirnya keceplosan
menyebut dan menceritakan orang yang ada didalam foto itu. Dia lupa bahwa ada
tentara yang sedang mengikuti kita. Kejadian itupun berlangsung. Kita
tertangkap.
Senja merona berubah menjadi lenyapnya cahaya. Lalu
bintang gemintang tak mau menampakan walau hanya setitik. Sang rembulanpun
enggan menyapa langit bumi. Sedangkan dibawah sini. Aku masih terikat pada
kejadian sore tadi. Hanya beberapa jam saja, aku sudah berpindah tempat yang
aku sama sekali tak tahu dibawa kemana. Bahkan untuk berbicara dengan Alya aku
tak bisa. Aku dan Alya dibedakan ruang ketika dibawa dari Monas tadi. Aku hanya
pasrah akan kejadian apa dengan gebrakan puncak mahasiwa besok. Semoga kita
masih dalam lindungan Allah ya al. Aku berbicara dalam hati.
Kamis, 15 Januari 2054
Shubuh kali ini banyak sekali mahasiswa yang melaksanakan
sholat shubuh di masjid istiqlal. Bahkan untuk mata elang sekalipun tak bisa
membedakannya. Semua merah. Berarti lawan. Udaranya segar sekali, mungkin
karena orang-orang munafik masih terlelap didalam kelalaian setan dalam
kubungan selimut. Para Mahasiswa yang sudah bersiap sejak tadi malam bingung
karena tak melihat Ari Hidayatullah sejak kemarin sore. Sebelumnya aku sudah
mempersiapkan sebuah surat yang aku titipkan kepada temanku jikalau aku tak
kembali hingga hari esok tiba. Lalu disampaikanlah kepada teman-teman untuk
tetap berjuang hingga titik darah penghabisan. Ba’da Sholat shubuh langsung di
mulai retorika nyata khas mahasiswa. Semua membara-bara seperti disiram oleh
lelehan magma dari dasar bumi. Saat itu masih disekitaran Istiqlal saja.
Masyarakatpun masih belum banyak yang melaksanakan kegiatan disekitar sini.
Para mahasiswa langsung melanjutkan perjalanan menuju Istana negara. Surprise.
Ternyata beberapa tentara sudah menghadang para mahasiswa untuk melakukan aksi
disana. Semua sontak bingung. Dan mencoba untuk memutarbalikkan rencana.
Sedangkan disisilain aku masih berusaha mengelabui para
tentara ini dengan berbagai cara. Ikatan ditanganku memang sudah lepas serta
lakban dimulutku juga sudah tak terpasang. Tetapi aku tetap saja. Tidak melihat
alya disekitar sini. Setelah berbagai cara aku lakukan, akhirnya tentara itu
lengah dan aku dapat keluar dari tempat busuk itu. Sesaat setelah menghirup
udara segar, aku melihat alya sedang berbincang dengan para tentara. Aku pikir
dia juga ikut mengelabui dan semoga saja dia tidak kenapa-kenapa. Lalu matanya
memandangku saat akan keluar dari tempat ini. Dia teriak dan menyuruh tentara
untuk menangkapku. Sontak aku kaget ketika melihat alya melakukan itu. Aku
berlari sekuat tenaga, memasuki gang-gang warga kampung, melompati
kandang-kandang ayam milik warga. Lalu tembus di sebuah pasar yang tak asing
bagiku. Ini Pasar Senen. Ternyata lokasi tempatku bersembunyi tak jauh dari
aksi-aksi para mahasiswa. Aku melompat menaiki transportasi umum lalu melaju
pesat kearah Istana negara.
Sesampai disana aku melihat hanya reruntuhan saja, hanya
beberapa tentara. Aku kira para mahasiswa sudah mundur. Lalu aku mencoba cari
lain. Aku coba saja ketempat markas besar IMM. Akhirnya, disana kulihat banyak
mahasiswa yang masih berkisruh dengan beberapa tentara yang mengikuti para
mahasiswa tersebut. Aku masuk dan melihat banyak yang berunding untuk
mencanangkan strategi terakhir untuk melawan hidup atau mati. Saat aku datang
semua langsung berdiri dan bingung akan kedatanganku. Langsung saja aku
bergerak cepat untuk melawan semuannya. Para mahasiswa diluar langsung melawan
mati-matian. Jumlah kita luar biasa. Tak kalah dengan semangat kita yang
membawa juga. Kita semua langsung menuju Istana lagi. Aku lihat disana hanya
ada Alya seorang diri. Aku bingung akan semua ini.
“ Alya!!! Kenapa kau disana?? Disana sangat berbahaya
sekali!!”
“ Ini hakku. Aku bukan Alya yang kenal lagi!”
“Kau bicara apa??”
“Sudahlah. Riwayatmu dan pasukanmu hari ini akan habis
ditanganku!”
Ternyata sungguh.
Pengkhianatan akan sangat menyakitkan sekali bagi setiap orang, tak pelak
dengan diriku. Aku sungguh tak menyangka alya menjadi dalang bagi semua ini.
Dia memancingku untuk mengajakku ke Monas. Hanya untuk agar aku ditangkap oleh
seorang tentara. Tetapi semangat juang tetaplah semangat juang. Jaket merah
akan selalu merah bahkan jika darah bercucuran terus menerus. Aku dan semua
pasukanku tetap terus melawan para rezim ini. Banyak dari kami yang luka-luka.
Dan pada akhirnya, Jaket merah ini akan tetap terus membawaku melemahkan rezim
ini. Semua hitam. Tinggal kenangan pahit dari seseorang teman kecil yang tiba-tiba
datang lalu menghilang dan melenyapkan.
-TAMAT-
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar