Minggu, 11 Januari 2015

AKU SAYANG IBU







“ Di masa kecil dulu, ibu selalu menggendong aku, memangku aku, mengayun aku di dalam peluknya, ibu juga yang selalu menenangkan aku dikala aku menangis, dikala aku bersedih, senyumnya bagai obat penawar rasa sakit, sayang sekali engkau tak berada disini lagi, bu.”
Aku duduk di depan teras rumah, duduk melamun seorang diri, tanpa ditemani siapapun, hanya dedaunanan pohon mangga yang jatuh berguguran karena musim kemarau. Awan yang bergantungan mesra seolah memanggil-manggil mengajak aku terbang di atasnya. Walaupun sekarang musim kemarau udaranya tidak panas, angin masih bertiup sepoi-sepoi membelai-belai rambutku yag ter-urai, membawa pikiranku ketempat diriku dilahirkan, bayangan desa ku. Desa yang sangat permai, banyak sawah yang terhampar hijau, apalagi saat musim hujan tiba, semua tanaman bergelayut karena embun yang siap menetes dari ujung daunnya. Bau segar dari hujan, tanah yang basah adalah hal yang selalu aku tunggu-tunggu, bermain di genangan air adalah hal yang mengasyikan, dan itu jarang aku dapatkan disini.
Bayangan rumahku tiba-tiba muncul dalam lamunanku, rumah yang tak begitu besar, rumah yang terbuat dari kayu yang sewaktu-waktu siap rubuh tertiup angin. Aku melihat diriku masih kecil bermain boneka di teras rumah yang tidak beralaskan lantai, hanya beralaskan tanah merah yang menggumpal di depan rumah. Sering bonekaku kotor apabila jatuh di teras rumah, namun ibuku tidak pernah memarahi aku, dengan sabarnya membawa bonekaku untuk dicuci. Akupun tidak peduli dan pergi meninggalkan ibu dengan boneka kotorku, aku berlari-lari dengan senangnya, mengejar teman-temanku yang terlebih dulu meninggalkan aku. Ibu hanya menghela nafas menyaksikan aku berlari dengan suka citanya. Saat aku berlari mengejar mereka, aku terpeleset jatuh, tersungkur dengan muka mnyentuh tanah, tubuh kecilku pun tak berdaya, dengan sigap ibu berlari menuju arahku, menggendong aku yang saat itu menjerit-jerit kesakitan. Ibu memarahi aku karna aku kurang hati-hati. Tangisku tidak terpecahkan lagi semakin menjadi-jadi ketika ibu meneteskan obat merah dilukaku. Dan kemudian ibu menyuruh aku untuk tidur, namun aku merengek dengan manjanya, aku merangkul ibu mintak digendong. Ibu hanya tersenyum dan menuruti semua keinginanku, aku tahu saat itu ibu tidak kuat menggendong aku, tapi ibu berusaha sekuat mungkin menggendongku, agar aku tidak  menanngis lagi.
Saat aku mulai beranjak remaja, aku mulai sibuk dengan duniaku, dunia anak SMA. Pernah saat itu, ibu baru saja membeli Hand Phone Esia, dengan polosnya ibu meminta aku untuk mengajarinya, bagaimana cara menelvon, mengirim pesan. Akupun tidak menolak untuk mengajarkan ibu, namun beberapa kali aku mengajarkan hal itu, ibu masih saja tidak paham dan masih saja tidak paham. Akupun mulai kesal, dan menghembuskan nafas panjang tanda bahwa aku mulai kesal dengan ibu yang tidak pernah paham. Ibu menatapku dengan mata berbinar-binar, walaupun aku tidak mengatakan kata-kata kasar namun ibu sudah merasa, bahwa aku lelah mengajarinya.
Aku masih ingat saat itu ibu memaksakan senyumnya untuk menutupi kesedihan hatinya, dengan lembut ibu mengelus rambutku, menicium keningku, dan mengatakan “maafkan ibu telah menyita waktumu nak, tidurlah dengan nyenyak”, dengan langkah gontai ibu meninggalkan aku di kamar sendirian, menutup pintu kamar dengan pelan. Bayangan ibu hilang seiring pintu mulai rapat ditutup, aku menyadari apa kesalahanku, tak terasa air mata ini menetes jatuh, betapa jahatnya aku sebagai seorang anak yang tidak pernah memikirkan perasaan seorang ibu.
Pagi hari saat aku mau berangkat sekolah, ibu telah siap dengan masakan yang dihidangkan untuk sarapan, ibu memaksaku untuk makan, beliau khawatir kalau aku terkena penyakit maag karena jarang sarapan di rumah, dengan cuweknya aku berlalu begitu saja, menatap makanannya pun aku tak sempat. Ibu setengah berlari menghampiri aku dengan membawa piring dan gelas minuman, berharap kalau aku belum berangkat. Sekali lagi ibu memaksaku untuk sarapan terlebih dahulu, akupun tetap ngotot untuk tidak sarapan, dengan sibuk mengikat tali sepatu ku, ibu menyuapi aku, satu, dua kali suapan aku masih bisa melahap makanan itu, tapi untuk suapan ketiga aku mulai enggan untuk makan. Ibu masih saja memaksaku untuk makan suapan ketiga itu, namun aku menolak dengan kerasnya. Akupun berlalu meninggalkan ibu yang masih berdiri membawa piring dan gelas minum.
Tiba-tiba ada kilat yang menyambar, seketika itu aku tersentak kaget dari lamunanku, dan membawa diriku kembali kedunia nyata, meninggalkan kampung halamanku dan masa laluku, awan biru yang tadinya aku lihat menawan sekarang berubah wujud menjadi gelap kehitaman, awan itu masih menggelayut di atas, ku tatap terus bentuk awan itu, ia bergerak beriringan, namun terasa gontai untuk bergerak, karena beban yang ada di awan tersebut, memaksa ia berjalan lambat. Titik-titik putih bening berjatuhan di bumi, begitu anggunnya mereka, mereka datang disaat waktu yang tepat, saat tumbuhan dan mahluk hidup lainnya membutuhkannya untuk melangsungkan hidup. Ya ini adalah hujan pertama yang terjadi setelah bumi kekeringan lama tidak tersentuh  dengan kelembutannya.
Aku amati rintikan air hujan tersebut, jatuh begitu anggunnya, memecah tanah dengan hentakan airnya, dan membekas dengan lubang-lubang ditanah. Hal itu terus berlanjut hingga hujan semakin deras, ku sandarkan tubuh ini di dinding teras rumah, menikmati suasana hujan dan bau segar  yang ditimbulkannya, ku edarkan mataku untuk melihat di lingkungan sekitarku, tiba-tiba mataku tertuju kepada seorang ibu tua dengan seorang anak kecil, yang duduk berpelukan di toko depan rumahku. Rupanya mereka sedang berteduh, dengan lembutnya ibu itu merangkul anaknya, agar anak itu tidak kedinginan. Jaket yang dia pakai, ia lepaskan dan ia pasangkan ke tubuh anaknya, ia rangkul lagi sampai anaknya benar-benar merasakan kehangatan.
Jiwaku bergetar hebat ketika melihat kejadian itu, aku teringat kembali dengan kehidupanku dulu di kampung. Sore hari aku dan ibuku sedang bersanda gurau, ditengah-tengah gelak tawa itu, tiba-tiba ibu mencium pipiku, dan mengatakan “kamu sudah dewasa nak, dan akan pergi meninggalkan ibu yang sudah tua ini dirumah”.
 Ia hentikan perkataannya, kemudian menatapku tajam. Dan melanjutkan perkataannya kembali. “bagimana mungkin peri kecilku ini akan hidup sendiri, siapa yang akan memberikan dia obat di saat perutnya sakit, dan siapa yang akan mencium keningnya disaat ia beranjak tidur”. Akupun membalas mencium pipi ibuku, terasa kerutan-kerutan di pipi beliau, aku sentuh, aku raba, betapa kasihannya ibuku. Ia tidak pernah mengurusi dirinya, samapi kerutan-kerutan itu terlihat begitu nyata, kemudian ibu tersenyum manis, beliau berkata ”nak ini adalah pesan yang dikirim oleh Allah,kepada ibumu, agar ibumu lebih dekat denganNya”. Aku tak kuat mendengar kata-kata ibu itu, aku sandarkan kepalaku dipangkuannya, aku ingin bermanja-manja dengan ibu, sebelum aku pergi menuju kota untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. 
Di usiaku 18 tahun, aku mulai beranjak dewasa dan mulai pergi meninggalkan  kampong halaman, di teras rumah itulah aku dilepas pergi oleh ayah dan ibuku, di rumah itulah semua kenangan manis terukir disana, ibu merangkulku, mencoba menanhan tagisnya agar tidak menetes, namun hal itu gagal ia lakukan air mata itu terus saja menetes melepas kepergianku. Itulah saat terakhir belaian yang aku rasakan, sekali lagi ibu membelai rambutku, mnecium keningku, dan memeluk aku kembali, air mataku juga menettes tak kalah hebatnya dengan air mata ibu, ibu memberikan pesan, aku harus bisa menjadi anak yang sukses, nasib keluarga ada ditanganmu nak, sambil mnempuk bahuku. Aku hanya mengnaggung pelan, tak kurat menahan air mata.
Aku selalu melungkan waktu untuk menelvon ibu, walaupun aku hanya menelvon untuk mengabarkan uang yang dikirim sudah habis, namun ibuku sennag aku sudah menelvonnya, walaupun  sering aku lupa untuk mennanyakan  bagaimana kabarnya, itulah yang membuat aku menyesal sampai sekarang ini. saat kuliyah aku hanya pulang 2kali dalam setahun, itupun kalau aku tidak sibuk dengan urusan di kampus, dan selama aku kuliayah lebih sering pulang 1tahun sekali, namun ibuku masih berharap kalau aku bisa pulang 2x dalam setahun itu, aku hanay mengiyakan dan saat itu aku tidak bersungguh-sungguh dalam berucap, saat ID Fitri yang ketiga aku dinantinantikan ibu untuk pulang, ibu menelvon dengan isak tangis ketika aku mengatakan kalau aku tidak dapat pulang, ibu memohon mohon agara aku dapat pulang, aku memaklumi karena setahun yang lalu aku tidak pulang k rumah. Lagi-lagi aku hnay meng-iakan itu, perasaan itu semakin hancur, etika mendapati aku tidak menetapi janji untuk pulang kerumah. Padahal saat itu ibu sakit parah, ibu terkena penyakit kanker rahim, dan orang yang din anti-nanti adalah aku. Parahnya aku tidak menyadari itu.
Masa kuliyah 4 tahun telah aku lalaui dengan baik, wisudaku tinggal 2 hari lagi, semuanya aku siapkan dengan matang, selain aku membeli kebaya untukku aku juga membelikan untuk ibu, aku berharap ibu mau memakainya disaat aku diwisuda nanti, tepat pada tanggal 22 Juni 2010 aku diwisuda dengan predikat sebagai mahasiswa terbaik. Aku senang sekali karena pada saat aku diwisuda bertepatan dengan hari ulang tahun ibuku yang ke-58, aku ingin menghadiahkan prestasi ini kepada ibu. Aku berharap ini adalah hadiah terindah yang tidak akan  dilupakan oleh ibu. Semua rombongan dari keluarga wisuda telah datang, aku menunggu dengan cemas dimana rombongan keluargaku, dengan membawa kebaya untuk ibu, seorang laki-laki tua sekitar umur 65 datang menghampiri aku dengan senyum yang dipaksa, dari kejauhan aku tidak dapat mnegenalinya, karena mungkin aku sudah lama tidak pulang. Ya itu adalah ayahku. Aku mennayakan dimana ibu, mengapa ayah hanya datang sendirian. Ayah tidak menjawab pertanyaan itu, beliau hanya diam dan diam. Kemudian sebutir Kristal putih bening menentes dari mata ayahku, ia menangis sampai sesenggukan, ia memeluk aku dengan erat,ia pelan ia mengatakan “ nak, ibumu telah tiada, ibumu meninggal 1 tahun yang lalu, karena penyakit kanker rahim”. Aku terguncang hebat sampai taki sadarkan diri. Aku ingat 1 tahun yang lalu adalah Idhul Fitri yang ketiga yang saat itu ibu memaksa aku untuk pulang, namun aku tak menghiraukan perkataan ibu. Aku sangat  menyesal. Ayah bercerita panjang lebar ketika aku sadarkan diri. Aku mempertanyakan mengapa ayah tidak menghubunginya saat ibu kritis, ayah hanya menangis dan menjelaskan bahwa ibumu tidak mengizinkan ayah mengubungimu, dia mengatakan biarkan kamu sibuk dengan duniamu sendiri. Saat itu aku tahu betapa kasih sayang seorang ibu, padahal dulu saat aku ditelvon selalu akumenagtakan akan aku telvon lagi, aku sedang sibuk, atau aku tidak sempat menanyakan keadaan ibu. Dan semuanya telah terlambat.
Air mataku tidak bisa terbendung lagi ketika menyaksikan ibu itu memeluk anaknya, seperti dulu saat ibu memeluk aku. Tiba-tiba dari arah belakang seorang anak laki-laki berusia sekitar 3 tahun berlari dan memeluk aku dari belakang, sontak aku kaget dan  lamunanku buyar. Aku berbalik badan dan membalas pelukan anakku, ku ciumi dia dengan kasih sayang, ku peluk lagi. Dengan tangan kecilnya ia menghapus air mataku, ia menanyakan mengapa aku menangis, namun aku hanya tersenyum sambil berkata, ibu sayang kamu nak, jadilah jagoan ibu yang mampu melindungi ibu di hari tua ibu. Si kecil hanay menganggung saja, dan memeluk aku lagi, ku balas pelukannya, kuciumi keningnya, dalam hati ku berkata, ibu tidak akan meninggalkan kamu, ibu syang kamu nak.

“Peluk ibu kalian sebelum kalian tidak bisa memeluknya lagi.”

Karya : Immi. Siska Jauharoh Fajriyah